Friday, November 20, 2009

Menatap Orang Australia dari Dekat


Pikiran Rakyat, Rabu, 18 November 2009

Deddy Mulyana, Dekan Fikom Unpad, kini Guru Besar Tamu di Monash University, Australia.

JIKA Anda datang ke Australia, jangan coba-coba membangga-banggakan jabatan yang Anda sandang di Indonesia. Warga Australia tidak akan terkesan dengan status Anda. Ini karena warga Australia menganut egalitarianisme (paham kesederajatan) yang sudah mengakar. Karena pergaulan mereka dengan warga Australia, banyak pemukim Indonesia yang sudah mencerap nilai ini. Maka jika Anda presiden direktur, jenderal, pengusaha besar, profesor, anggota DPR, atau selebriti, Anda tak perlu kecewa jika di negeri kanguru Anda tak dikerubungi orang-orang, atau bahkan tak diperkenalkan resmi dalam pertemuan informal yang kebetulan Anda hadiri. Apalagi jika Anda sekadar anak pejabat, anak pengusaha besar atau anak orang terkenal.

Nilai budaya kolektivistik yang dianut orang Indonesia membuat status istimewa seseorang di Indonesia menular juga kepada semua anggota keluarganya, sehingga seseorang merasa bangga karena orang tuanya atau kerabat dekatnya punya status istimewa. Maka prestasi seseorang di Indonesia sering bersifat bawaan (being), berbeda dengan di Australia dan di banyak negara Barat lainnya yang individualistik yang mengasumsikan bahwa prestasi seseeorang itu diciptakan, diperoleh atau menjadi (becoming), yakni apa yang telah orang itu lakukan dalam kehidupan.

Untuk menunjukkan sikap egaliter, orang Australia sering melakukan sapaan kasar "G’day, mate, how are you?" yang diikuti dengan tepukan di punggung mitranya. Orang non-Australia boleh jadi menganggap tindakan ini menghina atau meremehkan. Kesederajatan yang mereka anut juga tercermin dalam cara orang-orang memanggil atasan mereka, yakni dengan nama pertama, suatu hal yang jarang terjadi di Indonesia. Bahkan, mahasiswa di berbagai universitas di Australia pun lazim memanggil dosen mereka dengan cara itu, misalnya saat mahasiswa menyapa dosennya, "Hi, Peter, how is it going?" Mahasiswa tak perlu membungkuk, apalagi mencium tangan profesornya, seperti yang sering terjadi di beberapa universitas di Indonesia. Begitulah ketika tempo hari saya pertama kali berjumpa dengan Chris Nash, seorang profesor Jurnalistik Universitas Monash di Kampus Caulfield, yang mengenakan anting di telinga kirinya, kami pun langsung menyapa satu sama lain dengan nama pertama.

Sebagai peminat komunikasi lintas budaya, saya lihat cara orang Australia berkomunikasi agak berbeda dengan pembicara Inggris British ataupun pembicara Inggris Amerika. Bahasa Inggris Australia jelas lebih mirip dengan bahasa Inggris British daripada dengan bahasa Inggris Amerika, karena Australia adalah negara persemakmuran Inggris (Britania Raya). Dapat dikatakan bahasa Inggris British adalah cikal bakal bahasa Inggris Australia, karena nenek moyang orang Australia berkulit putih umumnya datang dari Britania Raya. Akan tetapi, selain terdapat kata-kata khas Inggris Australia, pengucapan Inggris Australia juga lain. Mereka, terutama yang kurang terdidik, mengucapkan kata today sepeti to die, sehingga kita akan kaget jika mendengar seorang Australia berkata, "I am going to the hospital to today (yang kedengarannya to die)."

Meskipun dalam banyak segi, bahasa Inggris Australia mirip dengan Inggris British, ekspresi khas Australia juga berhamburan. Frase dan kata-kata berikut lazim terdengar: no worries (jangan khawatir), mate (teman pria); rubbish (sampah); biscuits (kue), dan chemist (apotik). Orang Australia juga gemar memendekkan kata-kata, misalnya university menjadi uni, kindergarten menjadi kindi, television menjadi teli, dan beautiful menjadi beaut. Pengumuman di tempat publik bersifat langsung dan singkat, tidak berbasa-basi atau berbunga-bunga, seperti di Inggris. Di kereta api, misalnya terdapat pernyataan, "No smoking," (Dilarang merokok) "No Litering" (Dilarang membuang sampah), dan "You must have a valid ticket to travel on this train" (Anda harus punya tiket yang berlaku untuk naik kereta ini). Bandingkan dengan pengumuman di Inggris, misalnya "We regret that in the interest of hygine dogs are not allowed on these premises" (Kami menyesal bahwa demi kesehatan, anjing tidak diizinkan di tempat ini), yang bisa dipendekkan: "Video controlled" ("Diawasi video"). Kelugasan orang Australia juga terkadang vulgar. Misalnya di Huntingdale, ada sebuah baliho besar yang bertuliskan (maaf), "Making Love? Do it longer! Call or sms ’Try’ 1800711711."

Dapat disimpulkan,orang Australia sangat lugas. Sikap ini dapat membuat orang asing, termasuk orang Amerika sekalipun, merasa diserang, misalnya dengan ucapan mereka "You don’t know what you’re talking about". Di Victoria Market di Melbourne, di sebuah kafe saya menyaksikan seorang perempuan bule yang mengembalikan roti lapis yang baru dibelinya, tampaknya karena rasanya kurang enak. Ia berteriak, "It is disgusting!". Uangnya dikembalikan oleh si bos perempuan. Suaminya yang ikut melayani pembeli berteriak, "Don’t ever come back!" Luar biasa, ini suatu kejadian yang seumur hidup saya tak pernah saya saksikan di Indonesia. Saya yang memesan fish ’n chips seharga 15 dolar Australia (sekitar Rp. 130.000,00) tak dapat membayangkan bahwa saya akan mengembalikan makanan itu karena rasanya tidak sesuai dengan selera, baik di Australia, apalagi di Indonesia. Pelajaran lain yang dapat diambil dari kejadian itu adalah betapa hak konsumen begitu besar di negeri ini. Dalam banyak kasus, konsumen boleh mengembalikan barang bukan makanan yang sudah dibeli asalkan belum dipakai.

Bagi orang berkomunikasi konteks tinggi (penuh dengan basa-basi, tak langsung, untuk menjaga harmoni) seperti orang Indonesia dan orang Jepang, orang Australia yang berbicara linier, langsung, lugas, dan faktual seperti ini bisa dianggap sebagai orang yang tidak punya perasaan. Dalam sebuah literatur dilukiskan, seorang manajer Jepang mengunjungi Australia dalam bisnis. Ia meminta seorang sejawat Australia menjelaskan suatu prosedur baru kepadanya. Orang Australia mengatakannya dengan cepat, persis, dan dari awal, bagaimana prosedur itu bekerja, menunjukkan beberapa problem yang mungkin, dan bertanya bila ia punya pertanyaan. Manajer Jepang itu merasa bahwa ia diperlakukan seperti anak kecil, dan bahwa orang Australia itu tidak punya pertimbangan atas perasaannya.

Menarik bahwa meskipun orang-orang Australia tidak banyak berbasa-basi, mulut mereka kurang terbuka saat berbicara dibandingkan dengan orang Amerika. Sebuah anekdot menyebutkan bahwa hal ini berkaitan dengan fakta bahwa beberapa abad lalu nenek moyang mereka datang ke Australia sebagai tahanan, bukan sebagai orang merdeka, sehingga mereka tidak bebas bicara dan sering menutup mulut. Cara bicara suatu bangsa atau suatu suku boleh jadi dipengaruhi faktor-faktor historis, kultural, dan geografis. Misalnya, konon orang Batak berbicara keras karena dulu nenek moyang mereka tinggal berjauhan di gunung dan lembah; orang Riau Kepulauan berbicara serupa karena suara mereka harus mengatasi suara ombak dan angin. Sementara itu, orang Padang berbicara keras karena mereka pemakan cabai. Ada pun orang Arab berbicara keras, karena lingkungan mereka yang gersang. Wallahu’alam.

No comments:

Post a Comment