Saturday, January 23, 2010

Pertukaran Pelajar Australia-Indonesia


FOREWORDBabel - Satu bulan bukan waktu yang cukup untuk mengenal Indonesia. Apalagi negara ini banyak memiliki aneka budaya, suku, dan kekayaan alam yang menakjubkan.

Demikian yang disampaikan, Brent (23), pelajar asal Australia yang kebetulan bisa merasakan hidup sebulan di Desa Matras, Sungai Liat, Bangka Belitung. Ia adalah salah satu dari 18 pelajar Australia yang mengikuti Australian Indonesia Youth Exchange Program (AIYEP). Program ini diselenggarakan atas kerjasama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia.

"Saya harus kembali ke Indonesia karena satu-dua bulan tidak cukup," ujar Brent saat berbincang-bincang dengan detikcom di Desa Matras, Sungai Liat, Babel, Rabu (18/1/2010).

Banyak cerita yang terukir dalam satu bulan. Brent tak bisa menceritakannya satu persatu.

"Saya suka pantai dan orang-orangnya begitu ramah," ungkap Brent.

Tapi, Brent mengaku sulit mendapatkan air bersih di Bangka. "Makanya kami teman-teman AIYEP membuat sumur untuk warga," tambahnya.

Lain halnya dengan, Jenna Harrington, bule asal Adelaide ini mengaku sangat betah tinggal bersama keluarga angkatnya di Desa Air Anyir, Sungai Liat, Babel. Baginya, Indonesia sudah seperti rumah kedua.

"Sayangnya, di sini listrik belum semua bisa. Jadi kalau malam gelap sekali," terangnya.

Jenna merasa tak cukup memberikan sesuatu untuk warga Desa. Pasalnya, Desa Air Anyir masih memerlukan bantuan terutama soal masalah lingkungan bersih.

"Di sini masih rawan Malaria. Masyarakat masih butuh kesadaran untuk bersih," katanya.

Beda halnya, dengan Wawan. Pemuda asal Mamuju, Sulawesi Barat ini mengaku belum bisa memberikan yang terbaik untuk desa yang ditinggalinya selama 4 minggu. Meski memiliki bekal yang cukup saat bekerja di Australia selama dua bulan, namun pengetahuan tersebut belum tentu bisa diterapkan di desa.

"Beda lokasi beda kebutuhan. Sulitnya kita mengajak warga untuk berubah. Harus ada keyakinan dan waktu yang dicurahkan," jelasnya.

Pengalaman berbagi, belajar, dan bekerja di desa yang cukup terpelosok menjadi pengalaman indah tersendiri bagi pelajar-pelajar tersebut. Sebut saja, Lenny. Gadis asal Papua ini, ingin sekali mengembangkan desanya di Jayapura berbekal pengalamannya di Australia.

"Masih banyak yang harus dibangun dari daerah kami," imbuhnya.

Berangkat dari keinginan untuk lebih mengenal satu sama lain. Pemuda-pemudi Indonesia Australia ini sadar kalau tak mudah memahami budaya bangsa lain. Tapi mereka sedikitnya mengerti, sebagai negara tetangga, Indonesia-Australia harus mempunyai hubungan yang lebih erat di masa yang akan datang.

Setelah di desa, puluhan pemuda-pemudi tersebut akan melanjutkan tugas mereka lainnya di kota Pangkal Pinang. Tentunya, berbeda dengan desa yang mereka tempati selama ini.

Selama sebulan, banyak aktivitas yang mereka lakukan. Mulai dari mengajar bahasa Inggris, memperkenalkan budaya satu sama lain, membuat sumur, memberikan penyuluhan hingga bekerja seperti halnya warga desa.

(Sumber DETIK:ape/anw)

Tuesday, January 5, 2010

It’s about accepting a role in the community and doing it well

Oleh Galuh Yuiani

Memiliki kesempatan untuk tinggal sementara di luar negeri adalah sebuah anugerah. Bukan hanya sekedar kesempatan untuk melihat pemandangan yang berbeda, gedung-gedung dengan arsitektur yang unik, melihat orang dengan beragam warna kulit dan rambut, namun kesempatan untuk melihat bagaimana orang di belahan bumi lain menjalani kehidupannya.

Tidak ada yang extraordinary dari cara hidup aussie people. Umumnya, mereka bekerja dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Tidak banyak yang bersedia untuk bekerja lembur melebihi office hour. Di kampus, saya hampir tidak pernah melihat professor atau dosen yang ada di kantor sampai larut malam, demikian juga cukup jarang (walaupun ada) melihat mahasiswa bekerja lembur sampai tengah malam di laboratorium. Apabila kemudian Australia layak disandingkan dengan Negara maju lainnya, maka saya menyimpulkan alasan utamanya bukanlah karena warganya bekerja sangat keras, banting tulang tak mengenal waktu. Mereka bekerja ‘cukup’ dan malah lebih terkesan tidak ingin mengorbankan jam santainya untuk kegiatan kantor.

Contoh yang paling ‘obvious’ untuk menggambarkan bagaimana orang Australia sangat membatasi jam kerja, adalah mengamati jadwal buka tutup mall/toko. Jangan heran apabila pada pukul 6 atau 7 malam, sebagian besar mall atau toko sudah mulai tutup. Bagi saya, yang menganggap jalan-jalan ke mall/toko bersama keluarga sebagai refreshing, kadang merasa ‘kesepian’ dengan begitu sunyi senyapnya kota Melbourne setelah jam 7 malam. Bila kejadian ini hanya terjadi pada saat weekday (senin-jumat), maka jangan harap weekend (sabtu-minggu) suasananya akan lain. Pada saat weekend, mall-mall justru tutup lebih awal. Bahkan di hari Minggu, mall besar hanya buka sampai jam 5 atau 6 sore. Selain karena pekerja harus dibayar dengan upah yang lebih mahal pada saat weekend, pesan yang tersembunyi seolah-olah mendorong orang untuk lebih banyak di rumah, spending time with family.

Apa yang kemudian melatarbelakangi fakta bahwa Australia merupakan salah satu negara maju di dunia, sepertinya bukan karena jam kerja warganya lebih panjang dari biasa, tapi karena obsesi individunya yang fokus pada kualitas dan efisiensi dari suatu pekerjaan. Lazimnya, upah pegawai di Negara ini dihitung berdasarkan hourly rate (jam-jam-an). Ini sebetulnya menandakan seberapa efisien perhitungan gaji pegawai oleh perusahaan. Gaji yang dibayar per-jam juga mau tidak mau membuat pegawainya jadi lebih menghargai jam kerja. Ada perasaan tidak nyaman apabila seorang pegawai dibayar untuk bekerja selama 5 jam tapi kemudian hanya menggunakan 4 jam saja untuk bekerja. Di sisi lain, perusahaan pun akan sangat jeli melihat bobot dari suatu pekerjaan dan memperkirakan berapa waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Hal ini pula lah yang sepertinya melatarbelakangi budaya on time dan sangat menghargai waktu. “Time is money” becomes a reality of life.

Masalah efisiensi ini sebetulnya sangat terasa di berbagai bidang. Seringkali saya melihat di warehouse-warehouse yang menjual berbagai macam barang (mirip gudang yang disulap menjadi toko) hanya ada satu orang yang kita temui di dalam toko yang sedemikian luas. Apabila kita ingin memilih barang, menanyakan berbagai hal tentang barang tersebut, atau membayar belanjaan kita maka ‘dia dan hanya dialah’ orang kita temui. Kadang saya berpikir, jangan-jangan orang tersebut merangkap pemilik toko. Pernah juga kantor mengadakan acara ‘farewell party’ untuk salah satu dosen senior yang akan pensiun. Seperti umumnya mahasiswa lainnya, yang pertama kali kita antisipasi adalah acara makan-makannya. Apalagi saat itu pegawai administrasi yang merangkap seksi acara mengatakan bahwa dia telah menyewa tenaga catering untuk menyiapkan makanan. Saat itu, makanannya memang tidak mengecewakan, berbagai jenis makanan berat, snack-snack, berbagai jenis minuman (including wine) tersedia dengan rapi di atas meja yang telah didekorasi dengan baik. Tapi yang membuat saya terkagum-kagum, pegawai catering yang melayani kita semua saat itu, hanyalah satu orang. Memang ada ciri khas dari acara makan-makan di sini, semua peralatan makan, selalu disposable (sekali pakai). Sedikit banyak ini memudahkan pegawai untuk membersikan segala sesuatunya (just put it in the rubbish bin). Bahkan, masing-masing tamu sebenarnya sudah sangat cekatan memasukkan semua piring, gelas, sendok dan garpu bekas pakainya ke tempai sampah yang disediakan.

Selain efisiensi, focus dari pekerjaan adalah kualitas dan service excellence. Tidak diragukan lagi, Australia menerapkan standar yang sangat tinggi dalam kehidupan masyarakatnya. Contoh yang sangat dekat dengan saya adalah standar keselamatan (safety procedure) di tempat kerja. Ada tahapan/prosedur kerja yang harus kita lewati saat ingin menjalankan eksperimen di laboratorium. Ini mencakup menuliskan prosedur kerja, membuat daftar zat yang dipakai berikut potensi bahaya dari masing-masing zat dan P3K apabila sesuatu tidak berjalan sebagai mana mestinya. Jas lab, goggle (safety glasses), sarung tangan sekali pakai, menjadi peralatan standar yang tidak boleh terlewati. Tissue untuk gelas kimia, tissue untuk melap meja, dan tissue untuk melap tangan, semuanya tersedia dan disposable (tidak boleh berkali-kali pakai). Kadang saya berpikir, kalo standar yang sama ingin diterapkan di Indonesia, maka dana penelitian yang kita peroleh mungkin akan habis hanya untuk menyiapkan perangkat-perangkat pendamping ini.

Sistem yang sudah tertata, standar gaji dan standar kehidupan yang tinggi, merupakan factor penunjang yang menjamin warganya dapat hidup normal dan layak. Pada akhirnya, warga Australia hanya tinggal memilih satu perannya di masyarakat dan kemudian bekerja dengan sebaik mungkin, maka semua kebutuhan untuk ‘hidup sangat layak’ secara otomatis akan terpenuhi ( Sumber Facebook Galuh Yuliani).